Sabtu, 28 April 2012

Android Selamatkan Eksistensi Vendor Lokal

\

Android Selamatkan Eksistensi Vendor Lokal

Selain tekanan valas, kelesuan di segmen hape lokal juga dipengaruhi lemahnya inovasi yang digadang. Hadirnya Android banyak dipercaya mampu menjadi solusi bagi para pemain hape lokal

Meski tak memiliki basis manufaktur ponsel, tapi Indonesia adalah negara yang unik bila disimak dalam industri telekomunikasi dunia. Dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, Indonesia kini memiliki 9 operator selular, dan 'hebatnya' ada 150 vendor merek lokal yang terdaftar di Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia (KemKominfo RI). 150 vendor ponsel, sebuah angka yang fantastis, ini menjadi jumlah terbesar kedua setelah Cina dari segi merek.

Android Selamatkan Eksistensi Vendor Lokal



Akibat banyaknya pemain, tak bisa dipungkiri terjadi 'seleksi alam'. Dari 150 pemain yang terdaftar di regulator, sejak 2005 sampai 2011 hanya beberapa saja yang mampu eksis di pasaran. Vendor berdana besar akhirnya yang mampu bertahan, logika dalam berbisnisnya masih tetap sama, mereka hanya bertindak sebagai pengimpor produk murni dari Cina. 
 
Meski potensi pasar masih terbuka luas di Indonesia, trend penjualan ponsel di 2011 lalu mulai memasuki tahap kelesuan. Beberapa indikasi bisa dilihat dari budget iklan yang terus menurun, frekuensi peluncuran produk yang kian jarang, bahkan tak sedikit vendor-vendor yang akhirnya 'tutup usia.' 

Salah satu faktor yang berpengaruh adalah tekanan pergerakan valas, nilai mata uang Rupiah belakangan cenderung melemah kepada dollar, maklum ponsel merek lokal masuk sebagai kategori barang impor yang memakai hitungan dollar AS. Saking lesunya pasar ponsel merek lokal, beberapa pemain di ITC Roxy Mas menyatakan, "dapat keuntungan bersih Rp30.000 saja sudah sangat baik." 

Faktor lain yang membuat pasar vendor lokal kian terpuruk adalah lemahnya inovasi yang ditawarkan. Walau harga ponsel lokal sangat murah di Indonesia, tapi ada kejenuhan di konsumen bila fitur yang diunggulkan monoton, seperti desain yang terus meniru merek-merek ternama, fitur juga hanya menjagokan dual on GSM/CDMA, dan TV tuner. 


Hadirnya Android Murah 
Kondisi yang dialami komunitas vendor lokal cukup menyulitkan, ditambah vendor merek global, seperti Nokia, Samsung, Sony Ericsson, dan LG juga terjun ke pasar ponsel murah. Vendor global juga menawarkan kelas smartphone dengan harga yang kian terjangkau sesuai target pasar yang dibidik. Ditambah kemampuan manufaktur chipset untuk memproduksi chipset massal dengan harga lebih murah, kian menggelorakan pemasaran smartphone 'murah meriah.' 

Melihat perkembangan yang ada, komunitas vendor lokal mulai pasang kuda-kuda untuk lepas dari tekanan. Hasilnya, vendor lokal harus berani dari mengambil positioning baru, yakni mencoba untuk memasarkan ponsel pintardan tablet, tentunya dengan harga yang harus lebih murah dari yang dijual oleh vendor global. Akhirnya pemain yang tergolong masih kuat berusaha menghadirkan ponsel berbasis Android. 

Dari segi desain, umumnya masih mencontek tipe-tipe yang sudah populer di dunia, seperti desain iPhone dan Galaxy Nexus. Walau butuh waktu, respon pasar pada Android kelas vendor lokal mulai terasa. Sebagai gambaran, bila Samsung, HTC, dan LG paling murah menjual Android seharga Rp1 juta, maka Android keluaran vendor lokal ada yang dijual mulai dari harga Rp600 ribuan. Tentu harga akan menentukan kualitas, memang material dan kekuatan software Android lokal tak bisa disamakan dengan produk Android merek global, tapi pada kenyataan, hadirnya produk murah cukup memikat kalangan yang berkantong ngepas, tapi mengidamkan sosok ponsel canggih. 
 


Android Si Penyelamat 
Bisa dibilang Android adalah 'Si Penyelamat' dari keterpurukan inovasi yang melanda vendor merek lokal. Publik di Indonesia kini mengidamkan sosok ponsel pintar dengan dukungan aplikasi yang memadai, dan jawaban untuk itu adalah Android. Mengapa Android? Tak lain platform Android kini memang sedang booming di dunia, ditambah Android bersifat open source, jadi bisa diadaptasi oleh vendor-vendor mana saja, tidak mesti vendor kelas dunia untuk menciptakan ponsel Android. 

Walau bersifat open platform, tidak lantas Android bisa serta merta diadopsi secara gratis ke setiap ponsel yang dijual. Vendor yang akan menggunakan Android, harus membayar biaya lisensi software ke Google. Dikutip dari SELULAR online dari unwiredview.com (13/7/2011), disebutkan setiap vendor yang akan mengadaptasi Android diwajibkan membayar lisensi ke Android, tapi besarnya tidak sama, ada perbedaan biaya lisensi yang didasarkan pada versi Android yang akan digunakan. Sebagai gambaran untuk versi Android 2.3 (Gingerbread), biaya lisensinya per produk adalah US$15, sedangkan untuk platform yang lebih rendah, seperti Android 2.2 (Froyo), biaya lisensi per produk mencapai kisaran US$10. 

Ada lagi varian pengenaan biaya berdasarkan prosesor, seperi untuk prosesor dibawah 600Mhz di Android Froyo, biaya lisensi bisa ditekan hingga US$5 per produk yang dibuat. Tapi biaya lisensi termahal kini diterapkan untuk Android Gingerbread yang dilengkapi dengan fitur NFC (near field communication), biaya per lisensi bisa mencapai diatas US$25 per produk yang dibuat.

Dari paparan diatas, bisa dihat seberapa kemampuan yang bisa diupayakan oleh vendor merek lokal untuk bersaing di pasar domestik. Mereka tidak mungkin menjual produk diatas harga yang ditawarkan vendor merek global. Dengan bermain dikisaran harga jual produk antara Rp600.000 – Rp1.500.000, tentu Android yang bisa ditawarkan kebanyakan masih berkutat di Android Froyo dengan kemampuan prosesor dibawah 1Ghz. 
 

 
Kini di tahun 2012, Android keluaran dari vendor merek lokal pelan tapi pasti mulai menemukan positioning baru, selain tetap menawarkan ponsel murah dengan fitur standar, mereka juga mulai mantap mengisi positioning baru di kelas Android murah. Bahkan beberapa pemain, seperti S-Nexian, Mito, Cross, dan Ivio meluncurkan ponsel Android dengan tambahan kemampuan dual on GSM/CDMA dan TV tuner, suatu hal yang tak ditawarkan oleh vendor merek global.

Prediksi dari IDC Research (4/3/2012), seolah kian menguatkan semangat bertarung Android dari vendor lokal, pasalnya lembaga riset asal AS tersebut menyebut bahwa pada tahun 2015, 60% pasar smartphone global akan diisi oleh segmen low yang berbasis Android. Di balik itu semua, ini menandakan makin kuatnya dominasi teknologi Cina di pasar telekomunikasi, khususnya di Indonesia. Setelah menguasai pasar vendor jaringan, OEM (original equipment manufacture) Cina juga mampu memasok segala kebutuhan yang diminta oleh kalangan industri di Indonesia. (Haryo Adjie Nogo Seno)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar jangan lupa sertakan alamatmu.